10 Komentar
// 23 June 2008
Segala puji bagi Allah, shalawat dan
salam semoga selalu terlimpah kepada Rasulullah, amma ba’du. Para
pembaca yang budiman, menuntut ilmu agama adalah sebuah tugas yang sangat
mulia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang
siapa yang dikehendaki baik oleh Allah maka Allah akan pahamkan dia dalam hal
agamanya.” (HR. Bukhari) Oleh sebab itu sudah semestinya kita berupaya
sebaik-baiknya dalam menimba ilmu yang mulia ini. Nah, untuk bisa meraih apa
yang kita idam-idamkan ini tentunya ada adab-adab yang harus diperhatikan agar
ilmu yang kita peroleh membuahkan barakah, menebarkan rahmah dan bukannya malah
menebarkan fitnah atau justru menyulut api hizbiyah. Wallaahul musta’aan.
ADAB PERTAMA
Mengikhlaskan Niat untuk Allah ‘azza
wa jalla
Yaitu dengan menujukan aktivitas
menuntut ilmu yang dilakukannya untuk mengharapkan wajah Allah dan negeri
akhirat, sebab Allah telah mendorong dan memotivasi untuk itu. Allah ta’ala
berfirman yang artinya, “Maka ketahuilah, sesungguhnya tidak ada sesembahan
yang hak selain Allah dan minta ampunlah atas dosa-dosamu.” (QS. Muhammad:
19). Pujian terhadap para ulama di dalam al-Qur’an juga sudah sangat ma’ruf.
Apabila Allah memuji atau memerintahkan sesuatu maka sesuatu itu bernilai
ibadah.
Oleh sebab itu maka kita harus
mengikhlaskan diri dalam menuntut ilmu hanya untuk Allah, yaitu dengan
meniatkan dalam menuntut ilmu dalam rangka mengharapkan wajah Allah ‘azza wa
jalla. Apabila dalam menuntut ilmu seseorang mengharapkan untuk memperoleh
persaksian/gelar demi mencari kedudukan dunia atau jabatan maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Barang siapa yang menuntut ilmu yang
seharusnya hanya ditujukan untuk mencari wajah Allah ‘azza wa jalla tetapi dia
justru berniat untuk meraih bagian kehidupan dunia maka dia tidak akan mencium
bau surga pada hari kiamat.” yakni tidak bisa mencium aromanya, ini adalah
ancaman yang sangat keras. Akan tetapi apabila seseorang yang menuntut ilmu
memiliki niat memperoleh persaksian/ijazah/gelar sebagai sarana agar bisa
memberikan manfaat kepada orang-orang dengan mengajarkan ilmu, pengajian dan
sebagainya, maka niatnya bagus dan tidak bermasalah, karena ini adalah niat
yang benar.
ADAB KEDUA
Bertujuan untuk Mengangkat Kebodohan
Diri Sendiri dan Orang Lain
Dia berniat dalam menuntut ilmu demi
mengangkat kebodohan dari dirinya sendiri dan dari orang lain. Sebab pada
asalnya manusia itu bodoh, dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang
artinya, “Allah lah yang telah mengeluarkan kalian dari perut-perut ibu
kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, dan kemudian Allah
ciptakan bagi kalian pendengaran, penglihatan dan hati supaya kalian
bersyukur.” (QS. An Nahl: 78). Demikian pula niatkanlah untuk mengangkat
kebodohan dari umat, hal itu bisa dilakukan dengan pengajaran melalui berbagai
macam sarana, supaya orang-orang bisa memetik manfaat dari ilmu yang kau
miliki.
ADAB KETIGA
Bermaksud Membela Syariat
Yaitu dalam menuntut ilmu itu engkau
berniat untuk membela syariat, sebab kitab-kitab yang ada tidak mungkin bisa
membela syariat (dengan sendirinya). Tidak ada yang bisa membela syariat
kecuali si pembawa syariat. Seandainya ada seorang ahlul bid’ah datang ke
perpustakaan yang penuh berisi kitab-kitab syariat yang jumlahnya sulit untuk
dihitung lantas dia berbicara melontarkan kebid’ahannya dan menyatakannya
dengan lantang, saya kira tidak ada sebuah kitab pun yang bisa membantahnya.
Akan tetapi apabila dia berbicara dengan kebid’ahannya di sisi orang yang
berilmu demi menyatakannya maka si penuntut ilmu itu akan bisa membantahnya dan
menolak perkataannya dengan dalil al-Qur’an dan as-Sunnah. Oleh sebab itu saya
katakan: Salah satu hal yang harus senantiasa dipelihara di dalam hati oleh
penuntut ilmu adalah niat untuk membela syariat. Manusia kini sangat membutuhkan
keberadaan para ulama, supaya mereka bisa membantah tipu daya para ahli bid’ah
serta seluruh musuh Allah ‘azza wa jalla.
ADAB KEEMPAT
Berlapang Dada Dalam Masalah Khilaf
Hendaknya dia berlapang dada ketika
menghadapi masalah-masalah khilaf yang bersumber dari hasil ijtihad. Sebab
perselisihan yang ada di antara para ulama itu bisa jadi terjadi dalam perkara
yang tidak boleh untuk berijtihad, maka kalau seperti ini maka perkaranya
jelas. Yang demikian itu tidak ada seorang pun yang menyelisihinya diberikan
uzur. Dan bisa juga perselisihan terjadi dalam permasalahan yang boleh
berijtihad di dalamnya, maka yang seperti ini orang yang menyelisihi kebenaran
diberikan uzur. Dan perkataan anda tidak bisa menjadi argumen untuk menjatuhkan
orang yang berbeda pendapat dengan anda dalam masalah itu, seandainya kita
berpendapat demikian niscaya kita pun akan katakan bahwa perkataannya adalah
argumen yang bisa menjatuhkan anda.
Yang saya maksud di sini adalah
perselisihan yang terjadi pada perkara-perkara yang diperbolehkan bagi akal
untuk berijtihad di dalamnya dan manusia boleh berselisih tentangnya. Adapun
orang yang menyelisihi jalan salaf seperti dalam permasalahan akidah maka dalam
hal ini tidak ada seorang pun yang diperbolehkan untuk menyelisihi salafush
shalih, akan tetapi pada permasalahan lain yang termasuk medan pikiran,
tidaklah pantas menjadikan khilaf semacam ini sebagai alasan untuk mencela
orang lain atau menjadikannya sebagai penyebab permusuhan dan kebencian.
Maka menjadi kewajiban para penuntut
ilmu untuk tetap memelihara persaudaraan meskipun mereka berselisih dalam
sebagian permasalahan furu’iyyah (cabang), hendaknya yang satu mengajak
saudaranya untuk berdiskusi dengan baik dengan didasari kehendak untuk mencari
wajah Allah dan demi memperoleh ilmu, dengan cara inilah akan tercapai hubungan
baik dan sikap keras dan kasar yang ada pada sebagian orang akan bisa lenyap,
bahkan terkadang terjadi pertengkaran dan permusuhan di antara mereka. Keadaan
seperti ini tentu saja membuat gembira musuh-musuh Islam, sedangkan
perselisihan yang ada di antara umat ini merupakan penyebab bahaya yang sangat
besar, Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan taatilah Allah dan
Rasul-Nya, dan janganlah kalian berselisih yang akan menceraiberaikan dan
membuat kekuatan kalian melemah. Dan bersabarlah sesungguhnya Allah bersama
orang-orang yang sabar.” (QS. al-Anfaal: 46)
ADAB KELIMA
Beramal Dengan Ilmu
Yaitu hendaknya penuntut ilmu
mengamalkan ilmu yang dimilikinya, baik itu akidah, ibadah, akhlaq, adab,
maupun muamalah. Sebab amal inilah buah ilmu dan hasil yang dipetik dari ilmu,
seorang yang mengemban ilmu adalah ibarat orang yang membawa senjatanya, bisa
jadi senjatanya itu dipakai untuk membela dirinya atau justru untuk
membinasakannya. Oleh karenanya terdapat sebuah hadits yang sah dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “al-Qur’an adalah
hujjah untukmu atau untuk menjatuhkanmu.”
ADAB KEENAM
Berdakwah di Jalan Allah
Yaitu dengan menjadi seorang yang
menyeru kepada agama Allah ‘azza wa jalla, dia berdakwah pada setiap
kesempatan, di masjid, di pertemuan-pertemuan, di pasar-pasar, serta dalam
segala kesempatan. Perhatikanlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau setelah diangkat menjadi Nabi dan Rasul tidaklah hanya duduk-duduk saja
di rumahnya, akan tetapi beliau mendakwahi manusia dan bergerak ke sana kemari.
Saya tidak menghendaki adanya seorang penuntut ilmu yang hanya menjadi penyalin
tulisan yang ada di buku-buku, namun yang saya inginkan adalah mereka menjadi
orang-orang yang berilmu dan sekaligus mengamalkannya.
ADAB KETUJUH
Bersikap Bijaksana (Hikmah)
Yaitu dengan menghiasi dirinya
dengan kebijaksanaan, di mana Allah berfirman yang artinya, “Hikmah itu
diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan barang siapa yang diberi
hikmah sungguh telah diberi kebaikan yang sangat banyak.” (QS. al-Baqarah:
269). Yang dimaksud hikmah ialah seorang penuntut ilmu menjadi pembimbing orang
lain dengan akhlaknya dan dengan dakwahnya mengajak orang mengikuti ajaran
agama Allah ‘azza wa jalla, hendaknya dia berbicara dengan setiap orang
sesuai dengan keadaannya. Apabila kita tempuh cara ini niscaya akan tercapai
kebaikan yang banyak, sebagaimana yang difirmankan Tuhan kita ‘azza wa jalla
yang artinya, “Dan barang siapa yang diberikan hikmah sungguh telah diberi
kebaikan yang amat banyak.” Seorang yang bijak (Hakiim) adalah yang dapat
menempatkan segala sesuatu sesuai kedudukannya masing-masing. Maka sudah
selayaknya, bahkan menjadi kewajiban bagi para penuntut ilmu untuk bersikap
hikmah di dalam dakwahnya.
Allah ta’ala menyebutkan
tingkatan-tingkatan dakwah di dalam firman-Nya yang artinya, “Serulah ke
jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat yang baik, dan debatlah mereka dengan
cara yang lebih baik.” (QS. an-Nahl: 125). Dan Allah ta’ala telah
menyebutkan tingkatan dakwah yang keempat dalam mendebat Ahli kitab dalam
firman-Nya, “Dan janganlah kamu mendebat ahlu kitab kecuali dengan cara yang
lebih baik kecuali kepada orang-orang zhalim diantara mereka.” (QS.
al-’Ankabuut: 46). Maka hendaknya penuntut ilmu memilih cara dakwah yang lebih
mudah diterima oleh pemahaman orang.
ADAB KEDELAPAN
Penuntut Ilmu Harus Bersabar Dalam
Menuntut Ilmu
Yaitu hendaknya dia sabar dalam
belajar, tidak terputus di tengah jalan dan merasa bosan, tetapi hendaknya di
terus konsisten belajar sesuai kemampuannya dan bersabar dalam meraih ilmu,
tidak cepat jemu karena apabila seseorang telah merasa jemu maka dia akan putus
asa dan meninggalkan belajar. Akan tetapi apabila dia sanggup menahan diri
untuk tetap belajar ilmu niscaya dia akan meraih pahala orang-orang yang sabar;
ini dari satu sisi, dan dari sisi lain dia juga akan mendapatkan hasil yang
baik.
ADAB KESEMBILAN
Menghormati Ulama dan Memosisikan
Mereka Sesuai Kedudukannya
Sudah menjadi kewajiban bagi para
penuntut ilmu untuk menghormati para ulama dan memosisikan mereka sesuai
kedudukannya, dan melapangkan dada-dada mereka dalam menghadapi perselisihan
yang ada di antara para ulama dan selain mereka, dan hendaknya hal itu
dihadapinya dengan penuh toleransi di dalam keyakinan mereka bagi orang yang
telah berusaha menempuh jalan (kebenaran) tapi keliru, ini catatan yang penting
sekali, sebab ada sebagian orang yang sengaja mencari-cari kesalahan orang lain
dalam rangka melontarkan tuduhan yang tak pantas kepada mereka, dan demi
menebarkan keraguan di hati orang-orang dengan cela yang telah mereka dengar,
ini termasuk kesalahan yang terbesar. Apabila menggunjing orang awam saja
termasuk dosa besar maka menggunjing orang berilmu lebih besar dan lebih berat
dosanya, karena dengan menggunjing orang yang berilmu akan menimbulkan bahaya
yang tidak hanya mengenai diri orang alim itu sendiri, akan tetapi mengenai
dirinya dan juga ilmu syar’i yang dibawanya.
Sedangkan apabila orang-orang telah
menjauh dari orang alim itu atau harga diri mereka telah jatuh di mata mereka
maka ucapannya pun ikut gugur. Apabila dia menyampaikan kebenaran dan
menunjukkan kepadanya maka akibat gunjingan orang ini terhadap orang alim itu
akan menjadi penghalang orang-orang untuk bisa menerima ilmu syar’i yang
disampaikannya, dan hal ini bahayanya sangat besar dan mengerikan. Saya
katakan, hendaknya para pemuda memahami perselisihan-perselisihan yang ada di
antara para ulama itu dengan anggapan mereka berniat baik dan disebabkan
ijtihad mereka dan memberikan toleransi bagi mereka atas kekeliruan yang mereka
lakukan, dan hal itu tidaklah menghalanginya untuk berdiskusi dengan mereka
dalam masalah yang mereka yakini bahwa para ulama itu telah keliru, supaya
mereka menjelaskan apakah kekeliruan itu bersumber dari mereka ataukah dari
orang yang menganggap mereka salah ?! Karena terkadang tergambar dalam pikiran
seseorang bahwa perkataan orang alim itu telah keliru, kemudian setelah diskusi
ternyata tampak jelas baginya bahwa dia benar. Dan demikianlah sifat manusia, “Semua
anak Adam pasti pernah salah dan sebaik-baik orang yang salah adalah yang
senantiasa bertaubat”. Adapun merasa senang dengan ketergelinciran seorang
ulama dan justru menyebar-nyebarkannya di tengah-tengah manusia sehingga
menimbulkan perpecah belahan maka hal ini bukanlah termasuk jalan Salaf.
ADAB KESEPULUH
Berpegang Teguh Dengan Al Kitab dan
As Sunnah
Wajib bagi penuntut ilmu untuk
memiliki semangat penuh guna meraih ilmu dan mempelajarinya dari
pokok-pokoknya, yaitu perkara-perkara yang tidak akan tercapai kebahagiaan
kecuali dengannya, perkara-perkara itu adalah :
1. Al-Qur’an Al-Karim
Oleh sebab itu wajib bagi penuntut
ilmu untuk bersemangat dalam membacanya, menghafalkannya, memahaminya serta
mengamalkannya karena al-Qur’an itulah tali Allah yang kuat, dan ia adalah
landasan seluruh ilmu. Para salaf dahulu sangat bersemangat dalam
mempelajarinya, dan diceritakan bahwasanya terjadi berbagai kejadian yang
menakjubkan pada mereka yang menunjukkan begitu besar semangat mereka dalam
menelaah al-Qur’an. Dan sebuah kenyataan yang patut disayangkan adalah adanya
sebagian penuntut ilmu yang tidak mau menghafalkan al-Qur’an, bahkan sebagian
di antara mereka tidak bisa membaca al-Qur’an dengan baik, ini merupakan
kekeliruan yang besar dalam hal metode menuntut ilmu. Karena itulah saya
senantiasa mengulang-ulangi bahwa seharusnya penuntut ilmu bersemangat dalam
menghafalkan al-Qur’an, mengamalkannya serta mendakwahkannya, dan untuk bisa
memahaminya dengan pemahaman yang selaras dengan pemahaman salafush shalih.
2. As Sunnah yang shahihah
Ia merupakan sumber kedua dari
sumber syariat Islam, dialah penjelas al-Qur’an al Karim, maka menjadi
kewajiban penuntut ilmu untuk menggabungkan antara keduanya dan bersemangat
dalam mendalami keduanya. Penuntut ilmu sudah semestinya menghafalkan
as-Sunnah, baik dengan cara menghafal nash-nash hadits atau dengan mempelajari
sanad-sanad dan matan-matannya, membedakan yang shahih dengan yang lemah,
menjaga as-Sunnah juga dengan membelanya serta membantah syubhat-syubhat yang
dilontarkan Ahlu bid’ah guna menentang as-Sunnah.
ADAB KESEBELAS
Meneliti Kebenaran Berita yang
Tersebar dan Bersikap Sabar
Salah satu adab terpenting yang
harus dimiliki oleh penuntut ilmu adalah tatsabbut (meneliti kebenaran
berita), dia harus meneliti kebenaran berita-berita yang disampaikan kepadanya
serta mengecek efek hukum yang muncul karena berita tersebut. Di sana ada
perbedaan antara tsabaat dan tatsabbut, keduanya adalah dua hal yang berlainan
walaupun memiliki lafazh yang mirip tapi maknanya berbeda. Ats tsabaat
artinya bersabar, tabah dan tidak merasa bosan dan putus asa. Sehingga tidak
semestinya dia mengambil sebagian pembahasan dari sebuah kitab atau suatu
bagian dari cabang ilmu lantas ditinggalkannya begitu saja. Sebab tindakan
semacam ini akan membahayakan bagi penuntut ilmu serta membuang-buang waktunya
tanpa faedah. Dan cara seperti ini tidak akan membuahkan ilmu. Seandainya dia
mendapatkan ilmu, maka yang diperolehnya adalah kumpulan permasalahan saja dan
bukan pokok dan landasan pemahaman. Contoh orang yang hanya sibuk mengumpulkan
permasalahan itu seperti perilaku orang yang sibuk mencari berita dari berbagai
surat kabar dari satu koran ke koran yang lain. Karena pada hakikatnya perkara
terpenting yang harus dilakukan adalah ta’shil (pemantapan pondasi, ilmu ushul)
dan pengokohannya serta kesabaran untuk mempelajarinya.
Dengan perantara nama-nama-Mu yang
terindah dan sifat-sifat-Mu yang tertinggi ya Allah, ampunilah dosa-dosa hamba.
Begitu banyak nikmat telah hamba sia-siakan. Umur, kesempatan, waktu luang,
kesehatan dan keamanan. Semuanya telah Engkau curahkan, namun aku selalu lalai
dan tidak pandai mensyukuri pemberian-Mu. Ya Allah bimbinglah hamba-Mu ini,
untuk meraih kebahagiaan pada hari di mana tidak ada lagi hari sesudahnya,
ketika kematian telah disembelih di antara surga dan neraka. Ketika para
penduduk surga semakin bergembira dan para penghuni neraka bertambah sedih dan
merana. Ya Allah, limpahkanlah kepada kami ilmu yang bermanfaat, dan
lindungilah kami dari ilmu yang tidak bermanfaat. Ya Allah, kami mohon
kepada-Mu hidayah, ketakwaan, terjaganya kehormatan dan kecukupan. Wa
shallallahu ‘ala Nabiyyinaa Muhammad, walhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin.
***
Adab-adab ini disadur dari Thiibul
Kalim al-Muntaqa Min Kitaab al-’Ilm Li Ibni Utsaimin karya Abu Juwairiyah
oleh Abu Mushlih Ari Wahyudi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar