Kamis, 09 Februari 2012 0 komentar

 Nb:harus di baca sampai selesai atau tidak sama sekali

Sebuah proposisi sederhana menyatakan bahwa Islam adalah sebuah sistem keyakinan yang mengklaim kebebaasan bagi manusia, terlepas dari jenis kelamin, ras, budaya, dan lain sebagainya. Tetapi, kita lihat dalam sejarahnya, di tempat-tempat di mana Islam menjadi agama yang dominan seringkali masyarakatnya kurang menghargai kebebasan. Baik kebebasan berpikir, berpendapat atau kebebasan yang lainnya. Pasca teori Francis Fukuyama “The End of History” dan diikuti oleh teori Samuel Huntington “The Clash of Civilization”, Islam dipandang sebagai satu kutub yang penting mengimbangi ideologi atau kontra Liberalisme. Berkenaan dengan isu kebebasan yang diusung oleh kaum liberal, di sini saya ingin mengajukan pertanyaan tentang apa korelasi agama dan kebebasan? Apakah agama harus lebih diutamakan atas kebebasan? Atau sebaliknya, kebebasan adalah pokok dan agama adalah cabangnya?
Tentang isu Islam yang dinubuatkan Fukuyama dan Huntington sebagai kutub ideologi yang menentang Liberalisme akan kita bahas pada kesempatan mendatang dalam bentuk tulisan runut. Sebagai bahan perbandingan dan telaah, silahkan Anda membaca artikel terkini “Melacak Akar dan Manifesto Liberalisme” di site ini.
Adapun tentang isu kebebasan dan agama keduanya merupakan isu yang senantiasa menjadi pembahasan oleh agama-agama semenjak dahulu. Sebagian orang beranggapan bahwa kebebasan adalah akar dan fondasi sehingga harus lebih diutamakan atas segala sesuatu, termasuk agama. Karena menurut anggapan mereka, jika kita menganggap agama sebagai akar segala sesuatu dan kebebasan diletakkan setelah agama, dengan memeluk salah satu agama kita tidak akan pernah merasa bebas. Dan memeluk agama, yang menjadi kebebasan manusia lainnya, akan bernilai dan dapat mendulang ganjaran jika hal itu dilakukan dalam suasana bebas dan sesuai dengan kemauannya.
Dengan demikian, jika posisi kebebasan diletakkan setelah agama, ini berarti ketika memeluk agama, kita tidak memilih hal tersebut dengan bebas. Dan akibatnya, perilaku kita dalam memeluk agama tersebut tidak didasari oleh ikhtiari. Padahal memilih untuk memeluk agama harus berlangsung bebas dan iman sebagai sebuah perilaku yang bersifat ikhtiari dan memiliki akar dalam kalbu manusia, tidak layak dipaksakan atas seseorang.
Atas dasar ini, Allah Swt berfirman:
”Tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Dan (jalan) petunjuk dan kesesatan sudah jelas.”
Oleh karena itu, kebebasan adalah pokok dan (harus) lebih diutamakan atas agama.” Dan pada hakikatnya, agama akan berarti jika dinaungi dengan kebebasan.
Dengan demikian, karena agama dilahirkan dari kebebasan, agama itu tidak berhak untuk membatasi kebebasan. Hal itu dikarenakan oleh (sebuah realita bahwa) sesuatu yang bersifat cabang tidak mungkin (dapat) membatasi pokok dan asal-muasalnya. Karena dengan itu, ia akan memusnahkan kredibilitas dirinya.
Atas dasar ini, orang-orang yang hidup di dalam lingkungan beragama, mereka memiliki kebebasan yang tak terbatas, dan hukum-hukum agama tidak berhak untuk membatasainya.
Sebagian argumentasi di atas benar dan sebagian lainnya hanyalah sebuah bentuk fallasi belaka yang dengan sedikit perenungan, wajah aslinya akan tampak.
Bagian pertama argumentasi di atas berasumsi bahwa memeluk agama harus didasari oleh kebebasan (dari pemaksaan), dan hal ini didukung oleh ayat al-Qur’an yang berfirman, “Tiada paksaan dalam beragama” adalah sebuah persepsi yang benar. Adapun bagian keduanya yang berasumsi bahwa setelah memeluk agama pun kebebasan yang harus dihormati dan hukum-hukum agama tidak berhak utnuk mengikatnya hanyalah sebuah fallasi (mughâlathah) belaka.
Demi memperjelas pembahasan, harus diperhatikan bahwa dua fase pembahasan mengenai kebebasan telah dicampur-adukkan menjadi satu dalam argumentasi di atas : pertama, fase kebebasan sebelum memeluk agama, dan kedua, fase setelah memeluk agama. Kebebasan yang merupakan syarat utama sebuah hak memilih berada di urutan sebelum memilih sebuah agama, dan dengan tiadanya kebebasan ini, tidak akan terjadi sebuah pemilihan yang bebas. Akan tetapi, kebebasan setelah memeluk agama, harus direalisasikan dalan ruang lingkup konstitusi agama tersebut.
Dengan kata lain, setelah seseorang memeluk agama dengan bebas dan atas dasar pilihannya sendiri, pada hakikatnya telah menerima dan mengamalkan segala hal yang berhubungan dengan agama tersebut, baik yang berkaitan dengan prinsip dan cabangnya. Dengan ini, sebenarnya ia telah mempersembahkan dirinya di hadapan perintah dan larangan Allah Swt.
Hal ini sebenarnya sering terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari. Umpamanya, setiap orang bebas mendaftarkan diri menjadi tentara atau polisi. Akan tetapi, begitu mereka diterima menjadi tentara dan polisi serta memahami undang-undang yang berlaku di dalam dua angkatan tersebut, mereka tidak berhak untuk melanggar undang-undang tersebut dan mengambil keputusan sesuai dengan keinginan mereka sendiri.
Kadang-kadang supaya fallacy ini dapat lebih diterima oleh masyarakat ramai, mereka memolesnya dengan warna agama dan menjadikan beberapa ayat al-Qur’an sebagai penguat ideologi mereka. Seperti ayat-ayat berikut ini:
“Engkau (Muhammad) tidak berhak untuk berkuasa atas mereka”.
“Kami tidak menjadikanmu sebagai penjaga (amalan-amalan) mereka dan engkau bukanlah wakil mereka”.
“Rasulullah Saw tidak (memiliki tugas) selain menyampaikan (misi Allah)”
“Kami telah menunjukkan kepadanya jalan kebenaran. Sekarang terserah dia apakah ia bersyukur atau mengingkari”.
Barangsiapa ingin (beriman), maka berimanlah, dan barangsiapa ingin (kafir), kafirlah”.
Mereka dengan bersandarkan kepada ayat-ayat tersebut meneriakkan slogan-slogan kebebasan seakan-akan mereka lebih prihatin terhadap kebebasan umat manusia daripada Allah. Akan tetapi, merela lupa bahwa di samping ayat-ayat tersebut di atas, masih terdapat ayat-ayat lain yang berfirman, “Jika Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan sebuah perkara, maka tak seorang pun dari Mukmin laki-laki dan wanita yang memiliki pilihan dalam urusan mereka”. Atau ayat yang berbunyi, “Nabi Saw lebih utama terhadap mukminin daripada diri mereka sendiri”.
Dalam menafsirkan ayat tersebut di atas, mayoritas penafsir memiliki pandangan bahwa pendapat Rasulullah Saw lebih utama daripada pendapat orang lain. Jika beliau telah mengambil sebuah keputusan, maka mereka tidak berhak untuk menentangnya.
Jika kita pandang sekilas, sepertinya terdapat kontradiksi antara kedua kelompok ayat tersebut di atas. Akan tetapi, orang yang mengenal (metode) al-Qur’an dan meneliti konteks (qarînah sebelum dan sesudah ayat-ayat kelompok pertama, ia akan memahami bahwa ayat-ayat tersebut tidak memiliki hubungan dengan masalah kebebasan sehingga harus kontradiktif dengan ayat-ayat kelompok kedua. Ayat-ayat kelompok pertama itu hanya bertujuan untuk membesarkan hati dan menghibur Rasulullah Saw. Karena sebagai manifestasi rahmat Ilahi, beliau sangat sedih, risau dan prihatin ketika melihat umat manusia tidak menerima Islam sehingga sedimikian – karena kesedihan dan keprihatinannya ini – seolah-olah beliau ingin membinasakan diri sendiri.
Untuk menghibur Nabi Saw, Allah berfirman, “Seakan-akan engkau (karena mereka enggan beriman) ingin membinasakan dirimu sendiri”. Dengan ini, Allah menurunkan ayat-ayat kelompok pertama demi menenangkan hati beliau.
Atas dasar ini, pandangan yang menyatakan bahwa jika agama kontradiktif dengan kebebasan, maka agama yang harus dikorbankan, tidak memiliki sandaran al-Qur’an sama sekali. Ayat-ayat kelompok pertama tidak dapat dijadikan sandaran bagi statemen mereka, karena penafsiran mereka (terhadap ayat-ayat tersebut) adalah salah satu contoh praktik tafsîr bir ra`yi.
Sumber: Wisdoms4all
0 komentar

Islam adalah agama yang realistis. Secara leksikal, kata “Islam” sendiri berarti tunduk, patuh, menerima. Ini menunjukkan bahwa syarat pertama menjadi seorang Muslim adalah menerima realitas dan kebenaran. Islam menolak setiap sikap keras kepala, prasangka, taklid buta, berat sebelah dan egoisme. Islam memandang semua itu bertentangan dengan realitas dan pendekatan realistis terhadap kebenaran. Menurut Islam, orang yang mencari ke¬benaran lalu menemui kegagalan dapat dimaafkan. Kalau kita secara membuta, keras kepala, dan angkuh, atau karena keturunan menerima sesuatu sebagai kebenaran, maka menurut Islam, apa yang kita lakukan itu tak ada nilainya. Seorang Muslim sejati mesti dengan gairah menerima kebenaran di mana pun ia mendapatkannya. Sejauh menyangkut menuntut ilmu, seorang Muslim tidak selayaknya apriori atau bersikap berat sebelah.
Upaya manusia mendapatkan ilmu dan kebenaran tidak hanya berlangsung pada masa tertentu dalam hidupnya, tidak pula hanya dalam wilayah terbatas. Dia juga tidak menuntut ilmu dari orang tertentu. Nabi SAW bersabda bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Beliau juga meminta kaum Muslimin agar menerima ilmu sekalipun dari seorang penyembah berhala. Dalam sabda lain, Nabi SAW mendesak umatnya untuk menuntut ilmu sekalipun harus ke negeri Cina. Tidak cukup sekedar itu, beliau bahkan menekankan, “Tuntutlah ilmu sejak dari ayunan sampai liang lahat.” Maka, memahami suatu persoalan secara parsial dan dangkal, secara membuta mengikuti orang-orang tua, dan menerima tradisi turun-temurun tidaklah logis, karena semua ini bertentangan dengan semangat tunduk di hadapan kebenaran. Oleh karena itu, Islam mengecamnya dan menganggapnya sebagai penyesatan.
Unsur realistis ini juga tampak jelas pada wujud manusia. Ia adalah makhluk realistis. Sebagai bayi yang baru lahir, sejak detik-detik pertama dari kehidupannya, ia telah mencari-cari susu ibunya sebagai realitas. Secara berangsur-angsur tubuh dan jiwa bayi ini berkembang sedemikian sehingga dia dapat membedakan antara dirinya dan sekitarnya. Kendatipun kontak bayi dengan sekitarnya terjadi melalui serangkaian pengetahuannya, namun dia tahu bahwa realitas sekitarnya itu berbeda dengan realitas pengetahuannya yang berfungsi hanya sebagai perantara.

Ciri-ciri Khas Dunia

Realitas sekitar itu yang dapat ditangkap oleh manusia melalui daya inderanya, dan itu yang lalu disebut dengan dunia. Realitas dunia ini memiliki sifat-sifat khas integral sebagai berikut:
1.  Terbatas
Segala yang dapat ditangkap oleh indera, dari partikel yang paling kecil sampai benda yang paling besar, pasti terbatas ruang dan waktunya. Apa pun dari realitas dunia ini tidak dapat eksis di luar batas-batas ruang dan waktunya. Benda-benda tertentu menempati ruang yang lebih besar dan masanya lebih panjang, sementara sebagian benda lain menempati ruang yang lebih kecil dan masanya lebih pendek. Namun pada prinsipnya, benda-benda itu terbatas ruang dan waktunya.

2.  Berubah

Segala sesuatu berubah dan tidak tahan utuh. Keadaan segala yang dapat ditangkap oleh indera dari dunia ini tidak statis dan tidak berhenti. Kalau mereka tidak berkembang, maka akan rusak. Benda materiil yang dapat ditangkap oleh indera, sepanjang masa eksistensinya, selalu mengalami perubahan sebagai bagian dari realitasnya. Kalau suatu wujud materiil itu tidak memberi sesuatu, maka ia menerima sesuatu, atau memberi sekaligus menerima. Dengan kata lain, kalau ia tidak menerima sesuatu karena realitas benda-benda lain dan tidak menambahkan sesuatu itu pada realitasnya sendiri, maka ia memberikan sesuatu karena realitasnya atau menerima sekaligus memberi. Alhasil, di dunia ini, tidak ada yang tetap dan statis. Ini adalah ciri dasar apa saja yang ada di dunia ini.
3.  Determinasi
Sifat khas lain dari benda-benda indrawi adalah determinasi. Kita dapati bahwa semua benda-benda itu determinatif dan ditentukan. Dengan kata lain, eksistensi masing-masing ditentukan oleh dan bergantung pada eksistensi benda yang lain. Tidak ada yang dapat eksis jika benda-benda lainnya tidak eksis. Kalau dengan saksama kita perhatikan realitas benda-benda materiil, ternyata banyak catatan “jika” yang menjadi syarat eksistensinya. Tak dapat ditemukan satu benda materiil yang bisa eksis tanpa syarat dan tanpa ketergantungan pada benda lain. Eksistensi segala sesuatu tergantung pada eksistensi sesuatu yang lain, dan eksistensi sesuatu yang lain juga tergantung pada eksistensi sesuatu yang lainnya lagi, dan begitu seterusnya.
4.  Bergantung
Eksistensi segala sesuatu tergantung pada terpenuhinya banyak syarat. Eksistensi masing-masing syarat ini tergantung pada ter¬penuhinya sekian syarat yang lain. Tak ada sesuatu yang dapat eksis dengan sendirinya, yakni tak ada syarat untuk eksistensinya. Dengan demikian, ihwal bergantung merupakan sifat esensial segala yang ada.

5.  Relatif

Eksistensi dan kualitas segala sesuatu di dunia ini relatif. Kita menilai sesuatu itu besar, kuat, indah, tahan lama dan bahkan ia itu ada, namun penilaian kita ini dalam bandingannya dengan benda-benda lain. Saat kita katakan, misalnya, matahari itu sangat besar, maksud kita adalah bahwa matahari itu lebih besar daripada bumi dan planet lain dalam sistem tata surya kita. Kalau tidak, sesungguhnya matahari ini sendiri lebih kecil daripada banyak bintang. Juga, ketika kita mengatakan bahwa kapal atau binatang tertentu hebat, kita membandingkannya dengan manusia atau sesuatu yang lebih lemah daripada manusia.
Bahkan eksistensi sesuatu itu komparatif. Bila kita bicara soal eksistensi, kesempurnaan, kearifan, keindahan, atau kekuatan, berarti kita mempertimbangkan tingkat lebih rendah dari kualitas itu. Kita selalu dapat mengasumsikan tingkatannya yang lebih tinggi juga, dan kemudian tingkatan lebih tinggi yang berikutnya. Setiap kualitas dalam perbandingannya dengan tingkatannya yang lebih tinggi berubah menjadi sebaliknya. Eksistensi menjadi non-eksistensi, sempurna berubah menjadi tidak sempurna. Juga, kearifan, keindahan, keagungan dan kehebatan masing-masing berubah menjadi kebodohan, keburukan dan kehinaan.
Berbeda dengan ruang lingkup indera, daya pikir manusia memiliki ruang lingkup yang tidak sebatas hal-hal lahiriah, namun juga sampai kepada apa yang ada di balik layar realitas materiil. Ini menunjukkan bahwa realitas itu bukan semata-mata apa saja yang kasat indera, terbatas, berubah, relatif dan tergantung itu.

Realitas Mutlak

Jadi realitas-realitas yang kita lihat, tampaknya dan pada umumnya, ada tidak dengan sendirinya. Mereka semua bergantung. Karena itu, tentu ada satu Realitas yang abadi, tak-bersyarat, mutlak, tak terbatas, dan selalu ada di balik segenap realitas itu. Segala sesuatu bergantung pada Reallitas Mutlak ini. Kalau tidak demikian, maka tidak mungkin ada realitas seperti Dia. Atau dengan kata lain, tidak akan ada yang eksis; sama sekali.
Al-Qur’an menerangkan bahwa Allah ada secara mandiri dan tak-bergantung. Ia mengingatkan bahwa segala yang ada, yang tergantung dan relatif itu, membutuhkan adanya suatu Realitas yang ada dengan sendiri-Nya untuk menopang eksistensi mereka. Allah ada dengan sendiri-Nya dan apa saja selain Dia pasti bergantung pada-Nya. Allah sempurna, karena segala sesuatu itu tidak ada pada diri mereka, maka mereka bergantung pada Realitas yang menutupi ketidakadaan tersebut dengan eksistensi.
Al-Qur’an menggambarkan segala sesuatu sebagai “tanda” atau “ayat”. Dengan kata lain, pada gilirannya segala sesuatu merupakan ayat dari Realitas Yang tak terbatas wujud, ilmu, kuasa, dan kehendak-Nya. Menurut Al-Qur’an, alam semesta laksana sebuah kitab yang dicipta oleh satu wujud yang arif, yang setiap baris dan kata di dalamnya merupakan tanda kearifan penulisnya. Dari sudut pandang Al-Qur’an, semakin orang tahu realitas segala sesuatu, dia semakin mengenal kearifan Allah, kuasa dan rahmat-Nya.
Dari satu sudut, setiap ilmu alam (maksudnya adalah ilmu yang digunakan untuk mengkaji dunia fisis, misalnya, fisika, kimia, biologi, geologi, botani—pen.) merupakan cabang dari kosmologi. Dari sudut lain dan dengan cara melihat sesuatu secara lebih mendalam, setiap ilmu alam merupakan uraian dari pengetahuan akan Allah. Dalam Al-Qur’an, kita dapat menjumpai satu dari sekian ayat yang menegaskan konsepsi ini:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia di bumi itu sebarkan segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. (QS. al-Baqarah: 164)
Dalam ayat ini, manusia diajak untuk memperhatikan kosmologi umum, industri pembuatan kapal, turisme beserta keuntungan finansialnya, meteorologi, asal-usul angin dan hujan, gerakan awan, biologi dan ilmu hewan. Al-Qur’an memandang perenungan tentang filosofi ilmu-ilmu ini adalah cara yang mengarah kepada pengenalan akan Allah.

Realitas Sempurna

Al-Qur’an mengatakan bahwa Allah memiliki segenap sifat kesempurnaan: Dialah yang memiliki Nama-nama yang terbaik. (QS. al-Hasyr: 24)
Dan bagi-Nyalah sifat yang Mahatinggi di langit dan di bumi. (QS. ar-Rûm: 27)
Sebagaimana telah dipaparkan, Allah Mahahidup, Mahatahu, Maha Berkehendak, Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Pemberi Petunjuk, Maha Pencipta, Mahaarif, Maha Pengampun dan Mahaadil. Dia memiliki segenap sifat yang mahatinggi. Allah bukanlah tubuh; juga bukan susunan. Dia tidak lemah. Dia tidak kejam.
Sifat-sifat kesempurnaan ini dapat disederhanakan pada dua macam: sifat positif, yakni sifat-sifat yang secara langsung menegaskan kesempurnaan Allah; dan sifat negatif, yaitu segala sifat yang menafikan dari Dzat-Nya apa pun  asumsi kelemahan, kekurangan dan ketaksempurnaan. Dua macam sifat Allah itu tampak dalam ungkapan kita. Kita senantiasa memuji dan menyucikan Allah. Memuji Allah berarti menyebut sifat positif-Nya. Dan menyucikan-Nya berarti menyatakan bahwa Dia bebas dari semua yang tidak patut bagi Dzat-Nya.

Realitas Yang Satu

Allah tidak berbanding dengan sekutu. Tak ada yang sama dengan-Nya. Pada dasarnya, mustahil ada yang sama dengan-Nya. Karena kalau begitu, akan ada dua Tuhan atau lebih; Dia tidak lagi satu. Dua, tiga atau lebih merupakan ciri khas pada sesuatu yang terbatas dan relatif.
Dalam kaitannya dengan wujud yang mutlak dan tak-terbatas, pluralitas tak lagi berarti. Misalnya, kita bisa punya satu anak. Juga bisa punya dua anak atau lebih. Kita juga bisa memiliki seorang teman, juga bisa memiliki dua teman atau lebih. Teman atau anak merupakan wujud yang terbatas. Dan wujud yang terbatas bisa diserupai oleh wujud lain yang jumlah juga bisa banyak. Ini sama sekali berbeda dengan wujud yang tak-terbatas; dia tidak mungkin berganda dan berlipat jumlahnya.
Pendekatan berikut ini, meskipun tidak memadai, dapat menambah kejelasan untuk masalah ini. Ada dua teori yang dirujuk oleh para untuk menafsirkan dimensi-dimensi alam materiil, yaitu dunia yang dapat kita lihat dan rasakan. Sebagian berpendapat bahwa dimensi-dimensi alam semesta ini terbatas. Dengan kata lain, alam ini punya titik akhir. Namun sebagian yang lain berpendapat bahwa pada dimensi-dimensi alam ini, tidak ada tengahnya, tidak ada awalnya, tidak ada juga akhirnya. Atas dasar teori keterbatasan alam materiil, timbul pertanyaan; apakah alam ini hanya ada satu atau lebih dari satu? Dan berdasarkan teori ketakterbatasan alam ini, asumsi adanya alam lain menjadi absurd dan tak masuk akal. Apa pun asumsi kita mengenai keberadaan alam lain, hanya menegaskan identisitas alam itu dengan alam ini, atau bagian darinya.
Pendekatan di atas ini berlaku pada alam materiil yang terbatas, bergantung dan diciptakan. Realitas alam ini tidak mutlak, tidak mandiri, dan tidak ada dengan sendirinya. Dan kendati tidak terbatas dari segi dimensi-dimensinya, alam ini tetap terbatas dari segi realitasnya. Kalau dimensi-dimensinya tidak terbatas, maka tidak dapat diasumsikan adanya alam lain.
Eksistensi Allah SWT tidak terbatas. Dia hanyalah Realitas Mutlak. Dia ada pada segala sesuatu. Dia ada dalam ruang dan waktu. Dia lebih dekat dengan kita ketimbang urat leher kita sendiri. Karena itu, mustahil ada sesuatu yang menyerupai Allah. Bahkan kita tak dapat mengasumsikan adanya wujud lain seperti Dia.
Kita melihat tanda-tanda kearifan Allah SWT ada di mana-mana. Kita melihat satu kehendak dan satu sistem yang mengatur segenap alam semesta. Itu menunjukkan bahwa pusat dunia ini satu; tidak lebih. Kalau saja ada dua Tuhan atau lebih, tentu ada dua kehendak atau lebih yang berlaku pada alam. Dan dua realitas atau lebih yang pusat mereka berbeda tentu akan eksis di segala sesuatu yang ada. Akibatnya, segala sesuatu menjadi dua atau lebih. Konsekuensi lgisnya, tidak akan ada yang eksis sama sekali. Inilah maksud ayat Al-Qur’an:
Sekiranya di langit dan di bumi ada tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. (QS. al-Anbiyâ’: 22)

Konsekuensi Praktis

Kesadaran kita akan Allah sebagai Realitas Esa, Sempurna, Pemilik sifat-sifat tertinggi, Suci dari apa pun kekurangan dan keterbatasan, dan—dalam hubungan-Nya dengan alam semesta—Dia sebagai Pencipta, Pengelola, Maha Pemurah, Maha Pengasih dan Penyayang, akan menciptakan reaksi dalam diri kita. Reaksi ini apa yang kita sebut dengan menyembah.
Menyembah merupakan satu bentuk hubungan antara manusia dan Sang Pencipta. Hubungan ini adalah ketundukan,  pemujaan dan syukur. Hubungan seperti ini hanya dapat dilakukan oleh manusia kepada Penciptanya. Dan hubungan ini tidak mungkin dan terlarang bila dilakukan kepada selain Sang Pencipta, karena dengan mengenal Allah sebagai satu-satunya sumber eksistensi, Penguasa dan Pengelola segala sesuatu, kita menyadari tanggung jawab untuk tidak menjadikan makhluk sebagai sekutu-Nya dalam pemujaan kita. Al-Qur’an menegaskan bahwa hanya Allah sajalah yang harus disembah. Tak ada dosa yang lebih besar daripada menyekutukan-Nya.
Kini mari kita bahas apa ibadah itu dan hubungan seperti apa yang khusus bagi Allah dan tak dapat dilakukan dengan selain-Nya.

Makna Ibadah

Untuk menjelaskan makna ibadah dengan benar, perlu ditekankan dua pengantar ini:
1. Ibadah terdiri atas perkataan dan perbuatan. Perkataan terdiri atas serangkaian kata dan kalimat yang kita baca, seperti memuji Allah, membaca Al-Qur’an atau membaca zikir atau doa yang lazim dibaca ketika melakukan shalat, dan mengucapkan “Labbaik” dalam haji. Sedangkan ibadah perbuatan adalah seperti berdiri, rukuk dan sujud ketika menunaikan salat, tawaf mengitari Ka’bah dan berada di Arafah dan Mahsyar ketika haji. Kebanyakan perbuatan ibadah seperti: salat dan haji, terdiri atas perkataan dan perbuatan sekaligus.
2. Ada dua macam perbuatan manusia. Sebagian perbuatan tidak memiliki tujuan yang jauh. Perbuatan seperti ini dilakukan bukan sebagai simbol untuk sesuatu yang lain, melainkan dilaku¬kan untuk mendapatkan efek alamiahnya sendiri. Misalnya, seorang petani melakukan kegiatan bertani untuk mendapatkan hasil wajar dari kegiatannya itu. Kegiatannya tersebut dilakukan bukan sebagai simbol, bukan untuk mengungkapkan perasaan. Begitu pula dengan seorang penjahit yang melakukan kegiatannya. Ketika kita melangkah ke sekolah, yang ada dalam benak kita tak lain adalah sampai di sekolah. Dengan perbuatan ini kita tidak bermaksud mencapai tujuan lain atau makna lain.
Namun ada perbuatan yang kita lakukan sebagai simbol dari beberapa hal lain atau untuk mengungkapkan perasaan kita. Kita menganggukkan kepala sebagai tanda setuju, kita menunduk kepada seseorang sebagai tanda hormat kepadanya. Kebanyakan perbuatan manusia tergolong jenis pertama, dan hanya sedikit yang tergolong jenis kedua. Namun demikian, ada perbuatan yang dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kita atau untuk menunjukkan maksud lain. Perbuatan ini dilakukan sebagai ganti dari kata-kata untuk mengungkapkan maksud.
Berdasarkan dua hal di atas, dapat kita katakan bahwa ibadah, baik yang berupa perkataan maupun perbuatan, merupakan aktifitas yang memiliki makna. Melalui dedikasinya, manusia mengungkapkan suatu kebenaran. Juga, melalui perbuatan seperti rukuk, sujud, tawaf dan seterusnya, manusia ingin menyampaikan apa yang diucapkannya ketika membaca bacaan ibadah.

Model Ibadah

Melalui ibadah, entah dengan kata-kata atau perbuatan, manusia menunaikan hal-hal tertentu:
1. Memuji Allah dengan mengucapkan sifat-sifat khusus milik Allah yang mengandung arti kesempurnaan mutlak, seperti Mahatahu, Mahakuasa dan Maha Berkehendak. Kesempurnaan mutlak berarti bahwa ilmu, kuasa dan kehendak-Nya tidak dibatasi atau tidak bergantung pada yang lain. Arti kesempuraaan ini merupakan implikasi wajar dari independensi Allah seutuh-utuhnya.
2. Menyucikan Allah, yakni menyatakan bahwa Dia tidak memiliki kekurangan dan kelemahan seperti: mati, terbatas, tidak tahu, tak berdaya, pelit, kejam, dan seterusnya.
3. Bersyukur kepada Allah, yakni memandang-Nya sebagai sumber sesungguhnya dari segala yang baik serta segala karunia dan rahmat. Bersyukur berarti percaya bahwa segala rahmat dan karunia hanya diperoleh dari Allah, dan bahwa yang apa pun selain Allah hanyalah perantara yang ditentukan oleh-Nya.
Tunduk dan Patuh kepada Allah, sepenuh-penuhnya. Yakni mengakui bahwa kepatuhan tanpa syarat wajib diberikan kepada Allah. Kewajiban ini adalah konsekuensi langsung dari pengakuan terhadap Allah sebagai Penguasa Mutlak atas segenap realitas dan Dzat yang berhak mengeluarkan perintah, dan dari kesadaran diri kita sebagai sebagai hamba Allah. Ketaatan kita itu hanya kepada Allah dikukuhkan oleh keimanan kita akan ketiadaan sekutu bagi Allah. Hanya Dia Yang Mutlak Sempurna, Yang tidak memiliki apa pun kekurangan. Dialah sumber sejati segala karunia, dan hanya Dia yang patut disyukuri atas semua itu. Hanya Dia yang patut dipatuhi sepenuhnya dan ditaati tanpa syarat. Setiap kepatuhan kepada selain Allah seperti: kepada Nabi SAW, para Imam, penguasa Muslim yang sah, orang tua dan guru, pada prinsipnya haruslah sebagai kepanjangan dari kepatuhan kepada-Nya, dan dalam rangka mendapatkan ridha-Nya. Itulah reaksi yang tepat yang harus ditunjukkan seorang manusia kepada Allah. Reaksi seperti ini dapat dilakukan hanya kepada Allah SWT.
[islammuhammadi/mt] Dari: Muqadimeh-i bar Jahanbini-e Islami: 1373 HS.—Rm. Murtadha Muthahari
0 komentar

TatTATKALA KAPITALISME MENGANGKANGI PENDIDIKAN
(Kritik Terhadap Pendidikan Berbasis Dunia Kerja)
Nanang Wijaya, S.Sos
A. WAJAH AWAL PENDIDIKAN (Sebuah Pendahuluan)
Pendidikan secara umum dapat dipahami sebagai proses pendewasaan sosial manusia menuju pada tataran ideal. Makna yang terkandung di dalamnya menyangkut tujuan memelihara dan mengembangkan fitrah serta potensi atau sumber daya insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya (Insan kamil). Benjamin Bloom mengatakan ada tiga fungsi pendidikan yang kemudian disebutnya sebagai taksonomi pendidikan yaitu (1) fungsi afektif ; untuk membentuk watak, sikap dan moralitas yang luhur (affective domain) (2). Fungsi kognitif ; Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan (cognitive domain) (3). Fungsi Psikomotorik ; untuk melatih keterampilan (psychomotorik domain). Dan ketiga aspek merupakan tolak ukur keberhasilan pendidikan pada anak didik. Merupakan ketimpangan pendidikan jika hanya satu yang menonjol dari ketiga fungsi pada anak didik.
Memaknai 3 fungsi diatas maka sesungguhnya pendidikan berbicara mengenai penanaman kecakapan hidup (life skill) yang didalamnya terdapat kecakapan akademik kognitif, kecakapan afektif (emosional, sosial dan spritual) serta kecakapan psikomotorik, meminjam rumusan UNESCO – pendidikan meliputi ; (1) kecakapan untuk berpikir dan mengetahui (learning how to think). (2) kecakapan untuk bertindak (learning how to do). (3). kecakapan (individual) untuk hidup (learning how to be). (4). kecakapan untuk belajar (learning how to learn) dan (5) kecakapan untuk hidup bersama (learning how to life together). Kecakapan-kecakapan itulah yang kemudian dipergunakan untuk menjalankan hidup secara layak dan manusiawi. Secara sederhana sesungguhnya tujuan utama pendidikan adalah memanusiakan manusia (mengerti atas dirinya, lingkungan dan tujuan hidupnya) bukan pendidikan untuk mencari pekerjaan.
Poulo Freire mengatakan bahwa pendidakan haruslah berorientasi pada pengenalan terhadap realitas dunia dan diri manusia itu sendiri. Seorang manusia yang tidak mengenal realitas dunia dan dirinya sendiri, tidak akan sanggup mengenali apa yang ia butuhkan, apa yang akan dia lakukan dan apa yang ingin dia capai. Pendidikan haruslah menjadi proses pemerdekaan, pembebasan dan kekuatan penggugah (subversive force) untuk melakukan perubahan dan pembaharuan. Maka diharapakan output dari pendidkan adalah manusia-manusia yang memiliki kesadaran kritis atas konstalasi social dimana dia hidup dan mampu melakukan perubahan atas situasi social yang cenderung merugikan. Output pendidikan adalah sosok pembaharu, pengubah, pemimpin, teladan dan kreatif.
Untuk mencapai hal tersebut maka pendidikan haruslah diselenggarakan dengan berorientasi pada pembudayaan, pemberdayaan, pembentukan watak dan kepribadian, serta berbagai kecakapan hidup dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran. Dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Alih-alih mendapatkan sosok out put pendidikan yang ideal, ternyata tiap hari kita disuguhkan dengan berita-berita tentang prilaku-prilaku anak bangsa yang mengaku berpendidikan yang sangat tidak bermoral. Korupsi, narkoba, pembunuhan, penculikan, tawuran massa dan prilaku kriminal lainnya seolah-olah telah menjadi wajah bangsa ini. Justru yang kita lihat sehari-hari adalah sosok kriminal, pecundang dengan mental yang sangat rendah. Maka patutlah kita bertanya : ADA APA DENGAN PENDIDIKAN NEGERI INI ?
B. PERUBAHAN PARADIGMA MASYARAKAT ATAS PENDIDIKAN
Kapitalisme dan materialisme adalah anak kandung dari moderinisasi, sehingga ketika modernisasi menjamah seluruh lapisan masyarakat. Maka mau tidak mau, kapitalisme dan materialisme juga ikut mempengaruhi pola pikir masyarakat. Akibat perubahan pola pikir ini terjadi perubahan yang sangat radikal atas cara pandang masyarakat terhadap pendidikan saat ini. Cita-cita luhur pendidikan yang begitu luhur saat ini telah terabaikan oleh masyarakat. Keinginan untuk melahirkan pribadi-pribadi yang memiliki kecerdasan emosional/spritual, kecerdasan intelektual serta memiliki keterampilan tereduksi sedemikian rendanya. Pendidikan pada akhirnya dilihat oleh masyarakat dari cara pandang materialisme dan kapitalisme.
Indikator yang dapat terbaca pada masyarakat adalah motivasi masyarakat untuk mengikuti pendidikan. Motivasi tersebut tereduksi pada motif untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dengan orientasi penghasilan, bukan lagi berorientasi pengetahuan, kecerdasan dan kesadaran. Saat ini orang masuk sekolah karena ingin dapat pekerjaan yang menghasilkan.
PENGETAHUAN
PESERTA DIDIK —- SEKOLAH —- KECERDASAN —–PERUBAHAN SOSIAL
KESADARAN
PESERTA DIDIK ————–SEKOLAH ————-IJAZAH ———-PEKERJAAN
Akibatnya sekolah adalah tempat untuk mendapatkan ijazah, karena ijazah adalah syarat utama untuk mendapatkan pekerjaan. Hal ini berimplikasi pada sikap dan prilaku baik masyarakat maupun peserta didik yang rela melakukan apa saja demi mendapatkan ijazah. Tradisi menyontek, plagiat, menyuap, membayar ijazah, membayar skripsi, dll lahir dari paradigma materialisme ini.
AWALNYA SEKOLAH ADALAH TEMPAT MENUNTUT ILMU
SEKARANG SEKOLAH ADALAH TEMPAT MENDAPAT IJAZAH
Cara pandang ini juga berpengaruh pada pemilihan masyarakat terhadap jurusan-jurusan (program) studi yang diminati atau yang dipilih. Program studi yang dianggap berhubungan dengan dunia industrilah yang banyak dipilih, seperti tekhnik, kedokteran, komputer, dll. Sementara program-program studi ilmu humainora menjadi jarang untuk dipilih. Untuk tingkat SMU, jurusan IPA menjadi kebanggan seolah-olah menrupakan jaminan masa depan.
Sehingga saat ini kita akan kesulitan untuk menemukan output pendidikan yang benar-banar memiliki kesadaran atas arti pentingnya pengetahuan yang memiliki kesadaran kritis atas realitas, yang memiliki kepekaan humanity dan rasa solidaritas yang tinggi. Yang ada adalah uotput yang memiliki sikap individual yang tinggi, tidak matang dalam pengetahuan dan tidak memahami makna hidup. Dan sekarang output seperti inilah yang banyak mengelolah negara ini.
C. HEGEMONI KAPITALISME ATAS PENDIDIKAN
Mengikuti teori Francis Fukuyama yang memprolamirkan kemerdekaan kapitalisme atas didologi apapun, maka kenyataannya kapitalisme telah menghegemoni dunia pendidikan kita. Hal ini dapat dilihat dari proses industrialisasi pendidikan kita. Proses industrialisasi pendidikan dapat dilihat/dipahami dalam dua pengertian, yaitu ; (1). Pendidikan yang dijadikan layaknya industri yang menghasilkan uang dan keuntungan yang berlipat-lipat. (2). Sistem pendidikan yang diformat sedemikan rupa (oleh skenario kapitalisme) untuk menyiapkan peserta didik agar mampu beradaptasi dengan dunia industri-kapitalis.
Peter McLaren mengatakan, dalam dunia kapitalisme, sekolah adalah bagian dari industri, sebab sekolah adalah penyedia tenaga kerja/buruh bagi industri. Ada tiga pengaruh kapitalisme terhadap sekolah, yaitu (1). Hubungan antara kapitalisme dan pendidikan telah mengakibatkan praktek-praktek sekolah yang cenderung mengarah kepada kontrol ekonomi oleh kaum elit. (2). Hubungan anatar kapitalisme dan ilmu telah menjadikan tujuan ilmu pengetahuan sebatas mengejar keuntungan. (3). Perkawinan antara kapitalisme dengan pendidikan serta kapitalisme dan ilmu telah menciptakan pondasi bagi ilmu pendidikan yang menekankan nilai-nilai material dengan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan martabat manusia. Pada akhirnya peserta didik dalam dunia pendidikan kita kehilangan senstifitas kemanusiaan digantikan dengan kalkulasi kehidupan materialisme.
Sekolah-sekolah terkooptasi oleh mekanisme industri dan bisnis, dimana sekolah menjadi instrumen produksi ekonomi. Mau tidak mua, kurikulum pendidikan juga ikut terpengaruh, misalnya dalam hal menentukan ilmu pengetahuan mana saja yang perlu dipelajari oleh peserta didik, yang disesuaikan dengan kebutuhan dunia industri. Maka terciptalan kurikulum yang sepenuhnya berwatk kapitalistik. Indikator yang dapat kita lihat adalah sedikitnya jam pelajar untuk ilmu-ilmu humaniora dan moral dibandingkan dengan pelajaran lainnya.
AWALNYA : SEKOLAH —————- MANUSIA SEUTUHNYA
SEKARANG : SEKOLAH —————- TENAGA KERJA UNTUK INDUSTRI
Pada filosofi seperti inilah lahir PENDIDIKAN BERBASIS DUNIA KERJA.
Pertanyaannya adalah apakah kita harus menolak Pendidikan berbasis dunia kerja ???
Sementara realitas telah menuntut kita untuk seperti itu, ketika kita menolak bukankah realitas akan meninggalkan kita. Pertanyaan ini dijawab oleh tiga paradigma pendidikan dengan jawaban yang berbeda.
D. TIGA PARADIGMA PENDIDIKAN
1. Paradigma Konservatif, akan menerima keadaan apa adanya dan menyesuaikan diri dengan tuntutan realitas tanpa mempertanyakan apapun. Dan mayoritas masyarakat
2. Paradigma Liberal/Demorkat, akan mengubah beberapa tuntutan realitas dan sedikit menyesuaikan diri.
3. Paradigma Kritis, dengan cara mengubah realitas yang dianggap menindas dan merugikan dan tidak sesuai dengan filosofi pendidikan. Pendekatan ini bertujuan untuk melakukan pembaharuan dan perubahan yang mendasar (revolusioner) dimasyarakat, dengan melakukan penentangan terhadap ketidakadilan, ketimpangan dan sistem yang menindas, melalui proses penyadaran kritis yang mencerahkan dan membebaskan.
E. CARUT MARUT PENDIDIKAN NASIONAL
Terlepas perdebatan atas pendidikan berbasis dunia kerja. Kita tidak boleh melupakan kondisi-kondisi lain dari pendidikan kita.
1. Anggaran pendidikan yang belum memenuhi kewajiban kenstitusinya. Bangsa ini ternyata belmu memeliki kesadaran atas pentingnya pendidikan, sehingga lebih mengutamakan kepentingan-kepentingan yang lain dibandingkan dunia pendidikan. Celakanya lagi, bahwa anggaran pendidikan (yang sedikit itu) di korup di sana-sini. Sehingga Departemen Pendidikan Nasional tergolong instansi terkorup oleh BPK
2. Kesejahteraan Guru (Pendidik) yang masih jauh dari harapan. Dimana penghasilan setiap pendidik masih jauh dari pemenuhan kebutuhan kehidupannya. Akibatnya, konsentrasi dan kesiapan dalam proses belajar mengajar terganggu dan tidak matang. Guru memang bukanlah profesi yang menjanjikan secara materi kecuali sekedar gelar ”pahlawan tanpa tanda jasa”. Tingkat kesejahteraan yang rindah inilah memaksa para guru untuk mencari penghasilan diluar penghasilan sebagai guru untuk menutupi kekurangan kebutuhannya, yang akhirnya akan menggangu proses belajar-mengajar di sekolah.
3. Fasilitas pendidikan sangat minim dan sangat diskriminatif, dimana terdapat perbedaan yang sangat mencolok kepemilikan fasilitas pendidikan dibeberapa sekolah, akibatnya output yangdihasilkan pun sangat terpengaruh. Sehingga kita masih banyak temukan gedung-gedung sekolah yang hampir ambruk, gedung sekolah yang masih berdinding papan atau berlantai tanah, sekolah yang tidak memiliki perpustakaan (kalau pun ada, isinya adalah buku-buku lama). Sekolah yang tidak memiliki laboratorium
F. PENUTUP
Bangsa ini akan maju jika pengelolaan pendidikannya dikelolah secar benar. Sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki bangsa ini begitu banyak. Dan semuanya menunggu dari pengelolaan pendidikan yang tepat. Sehingga SDA dan SDM tersebut dapat mensejahterakan masyarakat bangsa ini. Termasuk Daerah Sulawesi Tengah sebenranya memiliki SDA dan SDM yang cukup banyak dan beragam.
Dibutuhkan model pendidikan revolusioner (Peter McLaren & Paula Allman) dengan paradigma kritis yakni pola pendidikan yang menekankan pengembangan danpenguatan kesadaran peserta didik atas realitas sehingga mereka dapat menempatkan diri sebagai subyek dalam realitas tidak sekedar obyek. Apalagi hanya sekedar tenaga kerja. Sebab yang dibutuhkan sekarang adalah jiwa kepemimpinan.
(Disampaikan dalam Seminar Pendidikan dan Dunia Kerja
 
;