Islam adalah agama yang realistis. Secara leksikal, kata “Islam”
sendiri berarti tunduk, patuh, menerima. Ini menunjukkan bahwa syarat
pertama menjadi seorang Muslim adalah menerima realitas dan kebenaran.
Islam menolak setiap sikap keras kepala, prasangka, taklid buta, berat
sebelah dan egoisme. Islam memandang semua itu bertentangan dengan
realitas dan pendekatan realistis terhadap kebenaran. Menurut Islam,
orang yang mencari ke¬benaran lalu menemui kegagalan dapat dimaafkan.
Kalau kita secara membuta, keras kepala, dan angkuh, atau karena
keturunan menerima sesuatu sebagai kebenaran, maka menurut Islam, apa
yang kita lakukan itu tak ada nilainya. Seorang Muslim sejati mesti
dengan gairah menerima kebenaran di mana pun ia mendapatkannya. Sejauh
menyangkut menuntut ilmu, seorang Muslim tidak selayaknya apriori atau
bersikap berat sebelah.
Upaya manusia mendapatkan ilmu dan kebenaran tidak hanya berlangsung
pada masa tertentu dalam hidupnya, tidak pula hanya dalam wilayah
terbatas. Dia juga tidak menuntut ilmu dari orang tertentu. Nabi SAW
bersabda bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Beliau
juga meminta kaum Muslimin agar menerima ilmu sekalipun dari seorang
penyembah berhala. Dalam sabda lain, Nabi SAW mendesak umatnya untuk
menuntut ilmu sekalipun harus ke negeri Cina. Tidak cukup sekedar itu,
beliau bahkan menekankan, “Tuntutlah ilmu sejak dari ayunan sampai liang
lahat.” Maka, memahami suatu persoalan secara parsial dan dangkal,
secara membuta mengikuti orang-orang tua, dan menerima tradisi
turun-temurun tidaklah logis, karena semua ini bertentangan dengan
semangat tunduk di hadapan kebenaran. Oleh karena itu, Islam mengecamnya
dan menganggapnya sebagai penyesatan.
Unsur realistis ini juga tampak jelas pada wujud manusia. Ia adalah
makhluk realistis. Sebagai bayi yang baru lahir, sejak detik-detik
pertama dari kehidupannya, ia telah mencari-cari susu ibunya sebagai
realitas. Secara berangsur-angsur tubuh dan jiwa bayi ini berkembang
sedemikian sehingga dia dapat membedakan antara dirinya dan sekitarnya.
Kendatipun kontak bayi dengan sekitarnya terjadi melalui serangkaian
pengetahuannya, namun dia tahu bahwa realitas sekitarnya itu berbeda
dengan realitas pengetahuannya yang berfungsi hanya sebagai perantara.
Ciri-ciri Khas Dunia
Realitas sekitar itu yang dapat ditangkap oleh manusia melalui daya
inderanya, dan itu yang lalu disebut dengan dunia. Realitas dunia ini
memiliki sifat-sifat khas integral sebagai berikut:
1. Terbatas
Segala yang dapat ditangkap oleh indera, dari partikel yang paling
kecil sampai benda yang paling besar, pasti terbatas ruang dan waktunya.
Apa pun dari realitas dunia ini tidak dapat eksis di luar batas-batas
ruang dan waktunya. Benda-benda tertentu menempati ruang yang lebih
besar dan masanya lebih panjang, sementara sebagian benda lain menempati
ruang yang lebih kecil dan masanya lebih pendek. Namun pada prinsipnya,
benda-benda itu terbatas ruang dan waktunya.
2. Berubah
Segala sesuatu berubah dan tidak tahan utuh. Keadaan segala yang
dapat ditangkap oleh indera dari dunia ini tidak statis dan tidak
berhenti. Kalau mereka tidak berkembang, maka akan rusak. Benda materiil
yang dapat ditangkap oleh indera, sepanjang masa eksistensinya, selalu
mengalami perubahan sebagai bagian dari realitasnya. Kalau suatu wujud
materiil itu tidak memberi sesuatu, maka ia menerima sesuatu, atau
memberi sekaligus menerima. Dengan kata lain, kalau ia tidak menerima
sesuatu karena realitas benda-benda lain dan tidak menambahkan sesuatu
itu pada realitasnya sendiri, maka ia memberikan sesuatu karena
realitasnya atau menerima sekaligus memberi. Alhasil, di dunia ini,
tidak ada yang tetap dan statis. Ini adalah ciri dasar apa saja yang ada
di dunia ini.
3. Determinasi
Sifat khas lain dari benda-benda indrawi adalah determinasi. Kita
dapati bahwa semua benda-benda itu determinatif dan ditentukan. Dengan
kata lain, eksistensi masing-masing ditentukan oleh dan bergantung pada
eksistensi benda yang lain. Tidak ada yang dapat eksis jika benda-benda
lainnya tidak eksis. Kalau dengan saksama kita perhatikan realitas
benda-benda materiil, ternyata banyak catatan “jika” yang menjadi syarat
eksistensinya. Tak dapat ditemukan satu benda materiil yang bisa eksis
tanpa syarat dan tanpa ketergantungan pada benda lain. Eksistensi segala
sesuatu tergantung pada eksistensi sesuatu yang lain, dan eksistensi
sesuatu yang lain juga tergantung pada eksistensi sesuatu yang lainnya
lagi, dan begitu seterusnya.
4. Bergantung
Eksistensi segala sesuatu tergantung pada terpenuhinya banyak syarat.
Eksistensi masing-masing syarat ini tergantung pada ter¬penuhinya
sekian syarat yang lain. Tak ada sesuatu yang dapat eksis dengan
sendirinya, yakni tak ada syarat untuk eksistensinya. Dengan demikian,
ihwal bergantung merupakan sifat esensial segala yang ada.
5. Relatif
Eksistensi dan kualitas segala sesuatu di dunia ini relatif. Kita
menilai sesuatu itu besar, kuat, indah, tahan lama dan bahkan ia itu
ada, namun penilaian kita ini dalam bandingannya dengan benda-benda
lain. Saat kita katakan, misalnya, matahari itu sangat besar, maksud
kita adalah bahwa matahari itu lebih besar daripada bumi dan planet lain
dalam sistem tata surya kita. Kalau tidak, sesungguhnya matahari ini
sendiri lebih kecil daripada banyak bintang. Juga, ketika kita
mengatakan bahwa kapal atau binatang tertentu hebat, kita
membandingkannya dengan manusia atau sesuatu yang lebih lemah daripada
manusia.
Bahkan eksistensi sesuatu itu komparatif. Bila kita bicara soal
eksistensi, kesempurnaan, kearifan, keindahan, atau kekuatan, berarti
kita mempertimbangkan tingkat lebih rendah dari kualitas itu. Kita
selalu dapat mengasumsikan tingkatannya yang lebih tinggi juga, dan
kemudian tingkatan lebih tinggi yang berikutnya. Setiap kualitas dalam
perbandingannya dengan tingkatannya yang lebih tinggi berubah menjadi
sebaliknya. Eksistensi menjadi non-eksistensi, sempurna berubah menjadi
tidak sempurna. Juga, kearifan, keindahan, keagungan dan kehebatan
masing-masing berubah menjadi kebodohan, keburukan dan kehinaan.
Berbeda dengan ruang lingkup indera, daya pikir manusia memiliki
ruang lingkup yang tidak sebatas hal-hal lahiriah, namun juga sampai
kepada apa yang ada di balik layar realitas materiil. Ini menunjukkan
bahwa realitas itu bukan semata-mata apa saja yang kasat indera,
terbatas, berubah, relatif dan tergantung itu.
Realitas Mutlak
Jadi realitas-realitas yang kita lihat, tampaknya dan pada umumnya,
ada tidak dengan sendirinya. Mereka semua bergantung. Karena itu, tentu
ada satu Realitas yang abadi, tak-bersyarat, mutlak, tak terbatas, dan
selalu ada di balik segenap realitas itu. Segala sesuatu bergantung pada
Reallitas Mutlak ini. Kalau tidak demikian, maka tidak mungkin ada
realitas seperti Dia. Atau dengan kata lain, tidak akan ada yang eksis;
sama sekali.
Al-Qur’an menerangkan bahwa Allah ada secara mandiri dan
tak-bergantung. Ia mengingatkan bahwa segala yang ada, yang tergantung
dan relatif itu, membutuhkan adanya suatu Realitas yang ada dengan
sendiri-Nya untuk menopang eksistensi mereka. Allah ada dengan
sendiri-Nya dan apa saja selain Dia pasti bergantung pada-Nya. Allah
sempurna, karena segala sesuatu itu tidak ada pada diri mereka, maka
mereka bergantung pada Realitas yang menutupi ketidakadaan tersebut
dengan eksistensi.
Al-Qur’an menggambarkan segala sesuatu sebagai “tanda” atau “ayat”.
Dengan kata lain, pada gilirannya segala sesuatu merupakan ayat dari
Realitas Yang tak terbatas wujud, ilmu, kuasa, dan kehendak-Nya. Menurut
Al-Qur’an, alam semesta laksana sebuah kitab yang dicipta oleh satu
wujud yang arif, yang setiap baris dan kata di dalamnya merupakan tanda
kearifan penulisnya. Dari sudut pandang Al-Qur’an, semakin orang tahu
realitas segala sesuatu, dia semakin mengenal kearifan Allah, kuasa dan
rahmat-Nya.
Dari satu sudut, setiap ilmu alam (maksudnya adalah ilmu yang
digunakan untuk mengkaji dunia fisis, misalnya, fisika, kimia, biologi,
geologi, botani—pen.) merupakan cabang dari kosmologi. Dari sudut lain
dan dengan cara melihat sesuatu secara lebih mendalam, setiap ilmu alam
merupakan uraian dari pengetahuan akan Allah. Dalam Al-Qur’an, kita
dapat menjumpai satu dari sekian ayat yang menegaskan konsepsi ini:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya
malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna
bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu
dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia di
bumi itu sebarkan segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang
dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh (terdapat) tanda-tanda
(keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. (QS. al-Baqarah:
164)
Dalam ayat ini, manusia diajak untuk memperhatikan kosmologi umum,
industri pembuatan kapal, turisme beserta keuntungan finansialnya,
meteorologi, asal-usul angin dan hujan, gerakan awan, biologi dan ilmu
hewan. Al-Qur’an memandang perenungan tentang filosofi ilmu-ilmu ini
adalah cara yang mengarah kepada pengenalan akan Allah.
Realitas Sempurna
Al-Qur’an mengatakan bahwa Allah memiliki segenap sifat kesempurnaan:
Dialah yang memiliki Nama-nama yang terbaik. (QS. al-Hasyr: 24)
Dan bagi-Nyalah sifat yang Mahatinggi di langit dan di bumi. (QS. ar-Rûm: 27)
Sebagaimana telah dipaparkan, Allah Mahahidup, Mahatahu, Maha
Berkehendak, Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Pemberi Petunjuk, Maha
Pencipta, Mahaarif, Maha Pengampun dan Mahaadil. Dia memiliki segenap
sifat yang mahatinggi. Allah bukanlah tubuh; juga bukan susunan. Dia
tidak lemah. Dia tidak kejam.
Sifat-sifat kesempurnaan ini dapat disederhanakan pada dua macam:
sifat positif, yakni sifat-sifat yang secara langsung menegaskan
kesempurnaan Allah; dan sifat negatif, yaitu segala sifat yang menafikan
dari Dzat-Nya apa pun asumsi kelemahan, kekurangan dan
ketaksempurnaan. Dua macam sifat Allah itu tampak dalam ungkapan kita.
Kita senantiasa memuji dan menyucikan Allah. Memuji Allah berarti
menyebut sifat positif-Nya. Dan menyucikan-Nya berarti menyatakan bahwa
Dia bebas dari semua yang tidak patut bagi Dzat-Nya.
Realitas Yang Satu
Allah tidak berbanding dengan sekutu. Tak ada yang sama dengan-Nya.
Pada dasarnya, mustahil ada yang sama dengan-Nya. Karena kalau begitu,
akan ada dua Tuhan atau lebih; Dia tidak lagi satu. Dua, tiga atau lebih
merupakan ciri khas pada sesuatu yang terbatas dan relatif.
Dalam kaitannya dengan wujud yang mutlak dan tak-terbatas, pluralitas
tak lagi berarti. Misalnya, kita bisa punya satu anak. Juga bisa punya
dua anak atau lebih. Kita juga bisa memiliki seorang teman, juga bisa
memiliki dua teman atau lebih. Teman atau anak merupakan wujud yang
terbatas. Dan wujud yang terbatas bisa diserupai oleh wujud lain yang
jumlah juga bisa banyak. Ini sama sekali berbeda dengan wujud yang
tak-terbatas; dia tidak mungkin berganda dan berlipat jumlahnya.
Pendekatan berikut ini, meskipun tidak memadai, dapat menambah
kejelasan untuk masalah ini. Ada dua teori yang dirujuk oleh para untuk
menafsirkan dimensi-dimensi alam materiil, yaitu dunia yang dapat kita
lihat dan rasakan. Sebagian berpendapat bahwa dimensi-dimensi alam
semesta ini terbatas. Dengan kata lain, alam ini punya titik akhir.
Namun sebagian yang lain berpendapat bahwa pada dimensi-dimensi alam
ini, tidak ada tengahnya, tidak ada awalnya, tidak ada juga akhirnya.
Atas dasar teori keterbatasan alam materiil, timbul pertanyaan; apakah
alam ini hanya ada satu atau lebih dari satu? Dan berdasarkan teori
ketakterbatasan alam ini, asumsi adanya alam lain menjadi absurd dan tak
masuk akal. Apa pun asumsi kita mengenai keberadaan alam lain, hanya
menegaskan identisitas alam itu dengan alam ini, atau bagian darinya.
Pendekatan di atas ini berlaku pada alam materiil yang terbatas,
bergantung dan diciptakan. Realitas alam ini tidak mutlak, tidak
mandiri, dan tidak ada dengan sendirinya. Dan kendati tidak terbatas
dari segi dimensi-dimensinya, alam ini tetap terbatas dari segi
realitasnya. Kalau dimensi-dimensinya tidak terbatas, maka tidak dapat
diasumsikan adanya alam lain.
Eksistensi Allah SWT tidak terbatas. Dia hanyalah Realitas Mutlak.
Dia ada pada segala sesuatu. Dia ada dalam ruang dan waktu. Dia lebih
dekat dengan kita ketimbang urat leher kita sendiri. Karena itu,
mustahil ada sesuatu yang menyerupai Allah. Bahkan kita tak dapat
mengasumsikan adanya wujud lain seperti Dia.
Kita melihat tanda-tanda kearifan Allah SWT ada di mana-mana. Kita
melihat satu kehendak dan satu sistem yang mengatur segenap alam
semesta. Itu menunjukkan bahwa pusat dunia ini satu; tidak lebih. Kalau
saja ada dua Tuhan atau lebih, tentu ada dua kehendak atau lebih yang
berlaku pada alam. Dan dua realitas atau lebih yang pusat mereka berbeda
tentu akan eksis di segala sesuatu yang ada. Akibatnya, segala sesuatu
menjadi dua atau lebih. Konsekuensi lgisnya, tidak akan ada yang eksis
sama sekali. Inilah maksud ayat Al-Qur’an:
Sekiranya di langit dan di bumi ada tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. (QS. al-Anbiyâ’: 22)
Konsekuensi Praktis
Kesadaran kita akan Allah sebagai Realitas Esa, Sempurna, Pemilik
sifat-sifat tertinggi, Suci dari apa pun kekurangan dan keterbatasan,
dan—dalam hubungan-Nya dengan alam semesta—Dia sebagai Pencipta,
Pengelola, Maha Pemurah, Maha Pengasih dan Penyayang, akan menciptakan
reaksi dalam diri kita. Reaksi ini apa yang kita sebut dengan menyembah.
Menyembah merupakan satu bentuk hubungan antara manusia dan Sang
Pencipta. Hubungan ini adalah ketundukan, pemujaan dan syukur. Hubungan
seperti ini hanya dapat dilakukan oleh manusia kepada Penciptanya. Dan
hubungan ini tidak mungkin dan terlarang bila dilakukan kepada selain
Sang Pencipta, karena dengan mengenal Allah sebagai satu-satunya sumber
eksistensi, Penguasa dan Pengelola segala sesuatu, kita menyadari
tanggung jawab untuk tidak menjadikan makhluk sebagai sekutu-Nya dalam
pemujaan kita. Al-Qur’an menegaskan bahwa hanya Allah sajalah yang harus
disembah. Tak ada dosa yang lebih besar daripada menyekutukan-Nya.
Kini mari kita bahas apa ibadah itu dan hubungan seperti apa yang khusus bagi Allah dan tak dapat dilakukan dengan selain-Nya.
Makna Ibadah
Untuk menjelaskan makna ibadah dengan benar, perlu ditekankan dua pengantar ini:
1. Ibadah terdiri atas perkataan dan perbuatan. Perkataan terdiri
atas serangkaian kata dan kalimat yang kita baca, seperti memuji Allah,
membaca Al-Qur’an atau membaca zikir atau doa yang lazim dibaca ketika
melakukan shalat, dan mengucapkan “Labbaik” dalam haji. Sedangkan ibadah
perbuatan adalah seperti berdiri, rukuk dan sujud ketika menunaikan
salat, tawaf mengitari Ka’bah dan berada di Arafah dan Mahsyar ketika
haji. Kebanyakan perbuatan ibadah seperti: salat dan haji, terdiri atas
perkataan dan perbuatan sekaligus.
2. Ada dua macam perbuatan manusia. Sebagian perbuatan tidak memiliki
tujuan yang jauh. Perbuatan seperti ini dilakukan bukan sebagai simbol
untuk sesuatu yang lain, melainkan dilaku¬kan untuk mendapatkan efek
alamiahnya sendiri. Misalnya, seorang petani melakukan kegiatan bertani
untuk mendapatkan hasil wajar dari kegiatannya itu. Kegiatannya tersebut
dilakukan bukan sebagai simbol, bukan untuk mengungkapkan perasaan.
Begitu pula dengan seorang penjahit yang melakukan kegiatannya. Ketika
kita melangkah ke sekolah, yang ada dalam benak kita tak lain adalah
sampai di sekolah. Dengan perbuatan ini kita tidak bermaksud mencapai
tujuan lain atau makna lain.
Namun ada perbuatan yang kita lakukan sebagai simbol dari beberapa
hal lain atau untuk mengungkapkan perasaan kita. Kita menganggukkan
kepala sebagai tanda setuju, kita menunduk kepada seseorang sebagai
tanda hormat kepadanya. Kebanyakan perbuatan manusia tergolong jenis
pertama, dan hanya sedikit yang tergolong jenis kedua. Namun demikian,
ada perbuatan yang dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kita atau
untuk menunjukkan maksud lain. Perbuatan ini dilakukan sebagai ganti
dari kata-kata untuk mengungkapkan maksud.
Berdasarkan dua hal di atas, dapat kita katakan bahwa ibadah, baik
yang berupa perkataan maupun perbuatan, merupakan aktifitas yang
memiliki makna. Melalui dedikasinya, manusia mengungkapkan suatu
kebenaran. Juga, melalui perbuatan seperti rukuk, sujud, tawaf dan
seterusnya, manusia ingin menyampaikan apa yang diucapkannya ketika
membaca bacaan ibadah.
Model Ibadah
Melalui ibadah, entah dengan kata-kata atau perbuatan, manusia menunaikan hal-hal tertentu:
1. Memuji Allah dengan mengucapkan sifat-sifat khusus milik Allah
yang mengandung arti kesempurnaan mutlak, seperti Mahatahu, Mahakuasa
dan Maha Berkehendak. Kesempurnaan mutlak berarti bahwa ilmu, kuasa dan
kehendak-Nya tidak dibatasi atau tidak bergantung pada yang lain. Arti
kesempuraaan ini merupakan implikasi wajar dari independensi Allah
seutuh-utuhnya.
2. Menyucikan Allah, yakni menyatakan bahwa Dia tidak memiliki
kekurangan dan kelemahan seperti: mati, terbatas, tidak tahu, tak
berdaya, pelit, kejam, dan seterusnya.
3. Bersyukur kepada Allah, yakni memandang-Nya sebagai sumber
sesungguhnya dari segala yang baik serta segala karunia dan rahmat.
Bersyukur berarti percaya bahwa segala rahmat dan karunia hanya
diperoleh dari Allah, dan bahwa yang apa pun selain Allah hanyalah
perantara yang ditentukan oleh-Nya.
Tunduk dan Patuh kepada Allah, sepenuh-penuhnya. Yakni mengakui bahwa
kepatuhan tanpa syarat wajib diberikan kepada Allah. Kewajiban ini
adalah konsekuensi langsung dari pengakuan terhadap Allah sebagai
Penguasa Mutlak atas segenap realitas dan Dzat yang berhak mengeluarkan
perintah, dan dari kesadaran diri kita sebagai sebagai hamba Allah.
Ketaatan kita itu hanya kepada Allah dikukuhkan oleh keimanan kita akan
ketiadaan sekutu bagi Allah. Hanya Dia Yang Mutlak Sempurna, Yang tidak
memiliki apa pun kekurangan. Dialah sumber sejati segala karunia, dan
hanya Dia yang patut disyukuri atas semua itu. Hanya Dia yang patut
dipatuhi sepenuhnya dan ditaati tanpa syarat. Setiap kepatuhan kepada
selain Allah seperti: kepada Nabi SAW, para Imam, penguasa Muslim yang
sah, orang tua dan guru, pada prinsipnya haruslah sebagai kepanjangan
dari kepatuhan kepada-Nya, dan dalam rangka mendapatkan ridha-Nya.
Itulah reaksi yang tepat yang harus ditunjukkan seorang manusia kepada
Allah. Reaksi seperti ini dapat dilakukan hanya kepada Allah SWT.
[islammuhammadi/mt] Dari: Muqadimeh-i bar Jahanbini-e Islami: 1373 HS.—Rm. Murtadha Muthahari