“Tak Ada Jalan Buntu, Selama Yakin Pada Allah” KISAH NYATA
------------------------------ -------------------------
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,moga dengan kisah ini kita
smua bisa mengambil ibrahnya dan semakin bertambah keimanan kita serta
dalam keistiqomahan kita pada Allah.... Ia pernah jaya dengan usaha jual
beli. Tapi ujian menerpanya hingga
semua hartanya ludes. Bagaimana ia kembali bangkit? Dalam mengarungi
samudra kehidupan, menusia laksana sebuah roda. Kadang ia berada di
atas, kadang pula ia berada di bawah. Begitu pula dengan kisah hidup
Azam, pria asal Bojonegoro, Jawa Timur. Dikisahkan olehnya, ketika ia
dalam masa kejayaan, bukan hanya rumah yang menjadi simbol kekayaannya.
Mobil yang berjumlah tiga buah, juga menjadi fasilitas yang melengkapi
kemewahan yang ia miliki. Belum lagi hasil dari usaha yang ia geluti,
jual beli beras, yang omzetnya mencapai 25 ton per-bulan. Namun malang
tidak bisa dihindari, ketika roda kehidupan bergelinding membawanya ke
posisi dasar. Usahanya bangkrut, dan utang bertebaran di sana-sini.
Inilah kisahnya yang ditulis dengan bahasa tutur. *** Kisah ini saya
mulai dari sejarah masuknya saya ke lembaga dakwah. Saya bergabung pada
tahun 1995, setelah menyelesaikan studi di Institut Kejuruan dan Ilmu
Pendidikan (IKIP), Surabaya tahun 1994, jurusan Fisika. Langkah
bergabung dengan lembaga dakwah bukan langkah mudah. Keputusan ini,
sungguh sangat bertentangan dengan keinginan orangtuaku yang ingin aku
menjadi seorang pegawai negeri (PNS). Maklum, di desa, jarang anak
mengenyam bangku kuliah. Apalagi, statusku sebagai sarjana Fisika.
Merekapun selalu memaksaku, bahkan tidak jarang dengan menggunakan
bahasa yang –kadang-kadang- tidak mengenakkan. Namun, laksana karang di
lautan, tekadku untuk berdakwah dan bergabung di sebuah lembaga dakwah
tak pernah runtuh, sampai akhirnya mereka pun menyerah. Saya memilih
sebuah lembaga dakwah, sebagai ‘pelabuhan’, karena saya melihat
keindahan Islam di sana, yang sebelumnya tidak pernah saya saksikan di
beberapa lembaga lain. Bagaimana para penghuninya menghormati tamu,
sungguh mengesankan. Belum lagi melihat para awak yang senantiasa
menjaga keistiqomahan dalam menunaikan shalat jama’ah dan shalatul lail
(tahajjud), menjadi daya pengikat tersendiri. Pemandangan semacam inilah
yang membuat hatiku berbunga-bunga, dan mendesakkan hati untuk segera
berbabung. Selain itu, dulu, di era Orde Baru (Orba) yang sangat
otoriter ditambah kejaman Orba, rekayasa intelijen kepada umat Islam
yang sangat kasar, membuatku merasa enggan untuk mendaftarkan diri
menjadi PNS. Setelah tiga bulan aktif, saya memutuskan untuk mengakhiri
masa lajang, maka nikahlah aku dengan seorang wanita asal Surabaya,
yang notabenya adalah teman kuliah. Sambil menikmati bulan madu, aku
mulai aktif di lembaga dakwah. Berbagai amanah pernah saya emban, mulai
dari wakil kepala sekolah (Waka), bendahara Yayasan, dan berbagai amanah
lain. Apapun yang diamanahkan oleh lembaga kepadaku, dengan sekuat
tenaga akan aku lakukan dengan sebaik-baiknya. Merintis Bisnis
Ditengah-tengah kesibukan sebagai aktivis dakwah, pada 1998, aku
memberanikan diri untuk terjun di dunia enterpreunership
(kewirausahaan). Dan bisnis yang menjadi incaran adalah jual-beli beras
dari desa ke kota. Bisnis ini aku pilih, karena memang pada saat itu,
pasar Surabaya sedang membutuhkan asupan beras yang tinggi. Peluang
inilah yang aku baca, kemudian terjun di dalamnya. Adapun daerah asal
penyuplaian, saya pilih Bojonegoro karena kabupaten ini merupakan salah
satu penghasil beras terbanyak di Jawa Timur (Jatim). Untung tak dapat
diraih, malang tak dapat ditolak. Hanya dalam waktu satu tahun, aku
mampu meraih keuntungan yang cukup besar. Aku telah mampu mengontrak
rumah yang lumayan megah. Mobil tidak hanya satu, aku beli tiga
sekaligus. Bila dikalkulasi, omzetku saat itu, mampu mencapai 25 ton,
tiap bulannya. Padahal, jujur, modal yang saya gunakan untuk memulai
bisnis ini hanya keberanian. Tak sepeser pun uang saya keluarkan untuk
memulai bisnis ini. Bukan karena apa-apa, tapi memang tidak ada. Saya
datang ke Bojonegoro menemui salah satu juragan beras di sana, kemudian
menjelaskan prihal bisnis yang sedang saya rancang. Ia menyetujui untuk
menjadi mitra kerja. Pada awal pengiriman, dia hanya memberikan 3 ton.
Lambat-laun, setelah mengetahui perkembangan bisnis ini sangat masif,
beliau pun akhirnya berani mengirim seberapapun jumlah yang saya
butuhkan. Bisnis ini terus berjalan dengan lancar, hingga memasuki
tahun 2001. karena begitu mudahnya rizki hinggap ke pangkuanku, maka
sempat timbul sifat arogansi (sombong) dalam diri. Pernah pada suatu
saat, aku hampir ‘ketiban durian jatuh’. Uang sebesar Rp 2,2 Milyar
hampir aku dapat namun akhirnya lenyap. Padahal, bisa dikatakan uang
tersebut tinggal sejengkal saja menjadi hak milik saya. Usut punya
usut, mungkin, penyebabnya karena kesombonganku. Ceritanya, ketika
mengetahui akan mendapat rizki nomplok, aku berkata ke pada istriku,
“Bu, lihatlah, siapa diantara teman-temanku yang mampu mendapatkan uang
Rp. 2,2 Milyar dalam umur semuda aku?” Maklunm kala itu, umurku masih 34
tahun. Tak disangka, kekotoran hati seperti itulah, rupanya, yang
kemudian menjadi boomerang dan biang kehancuran bisnisku. Roda Berbalik
Selain sifat takabbur yang pernah menyelinap di hati, aku merupakan
orang yang paling sering ditipu oleh mitra bisnis. Meskipun aku telah
berhati-hati dalam bertindak, tapi tetap saja penipuan itu berlanjut.
Mungkin itu adalah salah satu bentuk teguran Allah kepadaku. Puncak dari
penipuan itu terjadi pada tahun 2002. saat itu, tersebutlah P.T Pohon
Mas dan Goldquest yang mengajak untuk berkerja sama dengan cara menanam
saham. Setelah dijelaskan bagaimana sistem kerjanya, aku pun tertarik.
Uang sebesar Rp 50 juta, aku serahkan langsung tanpa curiga. Lalu apa
yang terjadi? Ternyata itu hanyalah modus penipuan. Maka lenyaplah uang
itu entah-brantah. Mulai dari sinilah bisnisku macet. Untuk
menutupinya, mobil aku jual, selain itu aku pun berusaha mencari
pinjaman ke teman-teman. Karena tidak mencukupi, maka akhirnya aku
putuskan untuk meminjam di beberapa Bank seperti; BRI, BNI, Niaga,
Permata. Gali lobang untuk tutup lobang. Aku benar-benar menjadi orang
yang terlilit hutang. Bahkan, karena tidak mampu lagi membayar kontrakan
rumah, aku dan keluarga harus menumpang di rumah mertua. Tiga tahun
kondisi memprihatinkan tak juga berlalu. Di tengah kekalutan itu, ada
kabar yang mengagetkan bahwa rumah yang kami tempati itu akan dijual
oleh mertua. Ibaratnya, sudah jatuh tertimpa tangga. Aku tak bisa
berfikir lagi, mau dibawa kemana keluarga saya ini?. Meskipun saya punya
banyak famili, tapi aku tidak akan melibatkan mereka dalam kasus ini.
Singkat cerita, rumah mertua akhirnya terjual seharga Rp. 130 Juta. Dari
hasil penjualan, bapak (mertua) memberi kami Rp. 20 juta. Namun belum
genap berumur satu minggu, uang itu sudah ludes untuk mencicil
hutang-hutangku yang menumpuk. Istriku menangis, sebab, sedianya uang
itu akan kamu gunakan untuk mengontrak rumah. Tapi, apalah daya,
si-pengutang terus berdatangan menagih. Di tengah kekalutan, aku
datangi temanku. Aku sampaikan permasalahanku dan aku utarakan bahwa
saat ini aku sedang butuh kontrakan. Melalui perantaranyalah aku
dipertemukan dengan seorang pemilik rumah. Setelah bertemu si-empunya,
aku dibingungkan dengan uang kontrakan yang mencapai Rp 16 juta yang tak
mungkin kumili. (sebelumnya, rumah ini ada yang ingin mengontrak
sebesar Rp. 36 juta), Lallahu’alam, Karena kelembutan hatinya, kami
dipersilahkan menempati rumah tersebut. Sebagai ganti, aku diminta untuk
bekerja dengannya. Rumah berukuran 9x10 meter persegi itulah, yang
sejatinya bekas kantor, akhirnya menjadi tempat kami sekeluarga bernaung
hingga saat ini. Allahuakbar! Puji syukur ku terus kuucapkan kepada
Allah yang telah memudahkan segala urusanku. Membangun Strategi
Setelah mendapat tempat tinggal yang pasti, saya mencoba menata ulang
kehidupan. Aku melamar untuk menjadi agen sebuah majalah Islam.
Al-hamdilillah diterima. Pelangganku juga lumayan banyak. Untuk majalah,
berkisar 30 orang, buletin 50. Selain itu, aku juga berjualan
kecil-kecilan. Karena pernah aktif di sebuah lembaga zakat, akupun
ditawari untuk menjadi konsultan seuah lembaga zakat. Selain disibukkan
dengan urusan di atas, aku juga diamanahi untuk merintis badan ‘amil
zakat. Melalui aktivitas-aktivitas inilah, aku bisa kembali bangkit
dari sebelumnya. Bahkan, pada bulan Oktober tahun lalu, rumah yang kami
(yang semula kontrak telah resmi jadi milik kami). Karena aku telah
membelinya seharga Rp 180 juta. Mungkin ada yang bertanya, mengapa saya
mampu menanggung beban seberat ini?dan mampu kembali bangkit?.
Jawabannya mungkin satu. Dalam menjalani kehidupan, aku memiliki satu
prinsip yang membuatku teguh dan tak mudah runtuh. “Tidak ada jalan
buntu selama kita pasrahkan semua urusan kepada Allah.” Sekalipun saat
itu saya tidak memiliki sepeser uang, tetapi dengan prinsip itu, Allah
senantiasa memperkuat diriku untuk mampu menghadapi ujian demi ujian.
Sebagai gambaran betapa mujarabnya prinsip tersebut, pernah pada bulan
suci Ramadhan, kami kebingungan untuk membayar zakat fitrah. Uang yang
kami punya tidak cukup untuk memenuhi kewajiban itu. Namun
alhamdulillah, tanpa disangka-disangka, Allah memberi rizki kami melalui
salah satu sahabatku. Sangat luar biasa. Saya senantiasa berpesan
kepada Anda, mulai saat ini, libatkanlah Allah dalam setiap urusan kita.
InsyaAllah, semuanya akan terasa lebih mudah. [Robin Sah/cha/www.hidayatullah.com]
jadi jangan selalu mengeluh yach....ibarat orang bilang banyak jalan
menuju roma jadi banyak jalan pula yg bisa ditempuh tuk satu tujuan agar
selamat sampai tujuan yang kita tuju....silahkan saling berbagi dalam
bentuk tag dan bantu sesama teman yang membutuhkan....salam santun penuh
damai....(^_^) by:shalsyabela... ----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar